Cerpen: Tak Cuma Sianida, Anda Pun Bisa Keracunan Nada

Ilustrasi nada/ twitter.com
Halo Sahabat online - Rambutnya lepek, sedikit pirang dan berlekuk ikal mayang. Air wajahnya kering meranggas  dengan lingkar mata yang menghitam. Matanya invalid akibat gangguan syaraf ptosis asimetris. Hidungnya tak lebih mancung dari jidatnya. Kepalanya seperti rasi bintang gubuk penceng, lonjong ke kanan, tapi di balik batok tengkorak yang penceng itu tersimpang gumpalan otak yang begitu cemerlang. Nilai seni yang terkam dalam sel-sel otaknya sungguh adiluhung, sangat tinggi! Mungkin itu alasannya mengapa kepalanya peang ke kanan, sebab tempurung kepalanya tak mampu menahan desakan seni yang terus saja menyundul-nyundul dari otak kanannya ini.

Ben Wae atau ejaan kerennya Band Way adalah nama panggilannya. Orang yang masuk ke dalam daftar pencarian manusia paling dicari pada bulan ini, selain pak penghulu. Keberadaannya sangat dibutuhkan bagi yang menggelar hajatan, penampilannya paling ditunggu para tamu undangan.

Sejak memasuki musim kawin ia menjadi artis kampung yang terkenal, melebihi Ayu Ting-Ting apalagi Aming. Jika sedang menyandang gitar, ia bak Rhoma Irama. Hanya bedanya gitarnya bukan buntung, soal suara sebelas dua belas. Teknik permainan gitarnya bisa disandingkan dengan Ian Antono. Di atas panggung, matanya yang invalid, kepalanya yang peang, air mukanya yang gersang pasti lenyap dari pandangan. Yang ada kita akan melihat sesosok manusia yang penuh charisma bak satria bergitar dari utara,  negeri entah berantah.

***

Sebulan terakhir sejak memasuki masa musim kawin, hampir setiap malam ia mengisi acara dari panggung ke panggung. Namun belakangan ini satria bergitar tak lagi muncul di atas panggung. Sudah empat malam dia tak datang, meski orkes dangdut miliknya yang mengisi acara hajatan.

Penonton benar-benar kecewa karenanya, para penggila nada mendayu sulaya. Lagu yang dibawakan biduan dirasa tak greget tanpa ada iringan raungan gitar sang satria. Meski biduan melenggok kanak kiri, bokong yang aduhai digoyang patah-patah hingga turun beroknya. Tubuh diliauk-liukan seperti cacing tersiram air garam. Siulan seruling  merdu, ketipuk gendang bertalu-talu. Semua kolaborasi itu tak mempu menghipnotis para penonton. Tak lagi kutemukan penonton yang berjoget di depan panggun. Panggung seperti kehilangan jiwa!

Esoknya harinya karena penasaran dengan kejadian yang janggal tadi malam,  kuputuskan mencari tau apa yang sedang terjadi. Sepeda motor kugeber, jalanan terjal kulali. Suara kerikil kecil gemelutuk beradu menemaniku sepanjang perjalanan, saat roda sepeda motorku menggilasnya

Tiba di pengkolan jalan ujung kampung, kubelokan sepeda motorku memasuki jalan setapak. Nampak sebuah rumah cukup sederhana. Kuhentikan laju sepeda motor,
matikan mesin lalu berjalan menuju rumah itu, mendekati teras kemudian kuketuk pintu.

Orang dari dalam rumah menyahut,
“siapa di luar?”
“Aku bang, kadir”
“Oh, masuklah!” suara Bang Ben terdengar parau.
Baru saja kumembuka pintu ia langsung menyapa

“Tumben kau Dir,  main ke sini?” ucapnya sambil melilitkan sarung ketubuhnya.
 “Iya bang, baru sempat” jawabku sekenanya.
Aku cukup akrab dengan bang Ben, persahabatan kami terjalin baik karena musik.

Obrolan kemudian dimulai, dari selatan belok ke timur, belok lagi ke tenggara, lalu lurus terus ke barat daya sebelum berhenti di utara. Begitulah gambaran obrolan kami selama bebarapa saat. Perbincangan yang tidak jelas.

Akhirnya obrolan sampai ke pokok permasalahan, mengapa dia tak nampak dipanggung akhir-akhir ini untuk  mengsisi acara. Selidik punya selidik ternyata badannya meriang panas tinggi seperti deman. Ia mengaku, demamnya ini lantaran keracunan nada-nada music yang dibawakannya.  Sudah hampir separuh hidupnya  ia menjadi pemain music di orkes dangdut, tapi menurutnya baru kali ini dia benar-benar merasa sangat bosan jika berada di atas panggung dan memainkan lagu yang sama, dari satu panggung ke panggung lainnya.

“Bosan kali aku Dir, rasanya kayak mau pingsan kalau diminta memainkan lagu sama yang itu-itu saja.”

“Kau tau kawan, lagu yang berjudul dawai asmara milik bang Rhoma. Seingatku, aku sudah ratusan kali memainkan lagu itu diatas panggung, tapi herannya penonton tak pernah puas mendengar lagu itu. terus saja mereka memintaku memainkannya. Sampai mati rasa kupingku mendengarnya.”

“Mereka anggap orang seperti kami seperti kotak music, kapan mereka suka tinggal dipencet saja tombolnya.” He-he-he suara tawanya menimpali.

“Saranku Dir, jangan jadi musisi kampung kayak kami, bisa tertekan batinmu nanti. Sebab kami dibayar bukan dengar ukuran seberapa banyak lagi yang kami bawakan.”
“Kalau kau mau serius di dunia musik, jadilah musisi seperti orang-orang di Jakarta sana, mereka banyak duit, dikelilingi cewek cantik, bayarannya tergantung seberapa banyak kau mau bawakan lagunya, enak kan?”

Aku meringis miris mendengarnya. "Seperti itu kah parahnya jika manusia sudah mencapai puncak kebosanannya?" gumanku dalam hati.

Ternyata bukan hanya makanan yang bisa membuat orang merasa bosan dan keracunan. Music pun jika di dengarkan secara berlebihan efeknya bisa membuat orang seperti keracunan.

Ha-ha-ha gara-gara musim kawin anak manusia,
Satria bergitar jadi keracunan nada dawai-dawai asmara!
LihatTutupKomentar